RSS

Harmonis

Harmonis

RESPON DAN PERSEPSI NELAYAN TERHADAP INTRODUKSI TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN KERAPU DAN LOBSTER DALAM KERAMBA JARING APUNG

RESPON DAN PERSEPSI NELAYAN TERHADAP INTRODUKSI TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN KERAPU DAN LOBSTER DALAM KERAMBA JARING APUNG
DI DESA BATUNAMPAR KABUPATEN. LOMBOK TIMUR
Arif Surahman, Mashur dan Prisdiminggo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
Jl. Peninjauan Narmada, Po Box 1017 Mataram
ABSTRAK
Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445 ha merupakan potensi areal budidaya kerapu. BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di Desa Batunampar Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat tentang teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA.

Disamping kerapu, lobster juga merupakan komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa Batunampar. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA. Minat nelayan untuk membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan keenam pengkajian berlangsung. Sekarang tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Pada awal pengkajian banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan banyak nelayan yang kemudian mengikuti teknologi introduksi setelah melihat keberhasilan pengkajian. Keberhasilan proses diseminasi teknologi mengakibatkan sebagian besar responden non kooperator mengetahui teknologi unggulan BPTP namun belum mengadopsi karena tingginya modal yang mereka butuhkan untuk budidaya dalan KJA.
Kata kunci: respon; persepsi; introduksi; teknologi
ABSTRACT
Potency of marine culture area in West Nusa Tenggara is 23,245 ha. From this area 1,445 ha can be used for grouper cage culture. BPTP Mataram as an assessment agency introduced grouper cage culture technology from 2000 year in Batunampar village. Beside grouper, lobster is also the important commodity, which can be cultured in Batunampar village. Two species of spiny lobster, Panulirus homarus and Panulirus ornatus can be cultured in the cage. Fishermen respond have been started from sixth month of the assessment. 60 fishermen have been already adopted grouper and lobster cage culture technology. In the beginning of this assessment, farmer thought that this technology was difficult to implement in fisherman level that have capital limitation. Fishermen adopted this technology after they knew the successful of this assessment. Most of non-cooperator fishermen knew the BPTP technology because of the successfully of dissemination but this technology is too expensive for them.
Key word: respond; perception; technology; introduction
PENDAHULUAN
Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Harga jual ikan ini khususnya kerapu bebek di NTB sangat tinggi yaitu Rp. 270.000,- - Rp. 280.000,- untuk ukuran 500 g per ekor. Tingginya harga ikan kerapu bebek ini karena ikan ini merupakan komoditas ekspor dalam bentuk hidup ke Singapura, Hongkong, Jepang dan Cina. Tingginya harga dan banyaknya permintaan akan ikan ini menyebabkan intensitas penangkapan semakin meningkat sehingga dikhawatirkan populasi ikan ini di alam terancam punah.
Salah satu cara untuk menjamin kelestarian jenis ikan kerapu tersebut perlu dilakukan usaha budidaya. Usaha budidaya ikan kerapu ini diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan pasar dan sekaligus mengurangi intensitas penangkapan dari alam. Budidaya ikan kerapu merupakan aktivitas yang belum banyak berkembang dan relatif masih baru. Padahal potensi sumberdaya alam untuk budidaya ikan kerapu sangat mendukung seperti banyaknya teluk dan selat yang tersebar di wilayah perairan Indonesia.
Propinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas dua pulau besar yaitu pulau Lombok dan Sumbawa, serta memiliki wilayah peraian laut yang meliputi perairan pantai dan lepas pantai seluas 31.148 km2 dengan panjang pantai 2.900 km. Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445 ha merupakan potensi areal budidaya kerapu, dan 1.200 ha diantaranya berada di pulau Sumbawa. Potensi areal budidaya kerapu baru dimanfaatkan 11,05 ha (0,75%) yang tersebar di Kabupaten Lombok Timur 11,00 ha dan Kab. Bima 0.05 ha (Dinas Perikanan dan Kelautan NTB, 2002).
BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di Desa Batunampar Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat tentang teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA. Ikan kerapu yang digunakan dalam pengkajian ini adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Pakan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah ikan rucah dan mencoba mengintroduksikan pakan buatan berupa pellet yang berasal dari Gondol, Bali. Dari pengkajian tersebut dapat disimpulkan bahwa ikan kerapu dapat dipelihara dalam KJA dengan pemberian pakan alami berupa ikan rucah dan pakan buatan berupa pellet. Pemberian pakan alami berupa ikan rucah lebih baik dari pada pakan buatan, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ikan budidaya. Ikan kerapu yang diberikan pakan ikan rucah mempunyai pertambahan berat mutlak sebesar 558,70 g/individu sedangkan yang diberikan pakan buatan berupa pellet hanya sebesar 356,95 g/individu.(Nazam et al., 2000).
Disamping kerapu, lobster juga merupakan komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa Batunampar. Pengkajian ini bermula dari ketidaksengajaan pada saat berlangsungnya pengkajian budidaya kerapu. Pada saat pembersihan jaring banyak dijumpai benih lobster yang menempel pada jaring dan pelampung. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA.
Pada awal pengkajian nelayan belum merespon teknologi yang diintroduksikan, bahkan sebagian nelayan berpendapat bahwa teknologi KJA merupakan teknologi padat modal dan sulit diterapkan oleh nelayan. Namun pada bulan keenam pengkajian, minat nelayan untuk menerapkan teknologi KJA mulai muncul. Hal ini disebabkan petani kooperator mulai menjual hasil panen dari KJA berupa udang karang yang dipelihara secara sambilam dalam KJA. Satu persatu nelayan mulai ikut budidaya ikan dan udang dalam KJA. Teknologi pembuatan KJA oleh nelayan sangat beragam baik ukuran maupun bahan yang digunakan, bahkan ada sebagian nelayan yang menggunakan bahan kerangka bambu bekas bagan dan jaring yang digunakan berupa waring yang biasa digunakan untuk bagan pula.
TUJUAN
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui respon dan persepsi nelayan terhadap introduksi teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA di Desa Batunampar Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
METODOLOGI
Penelitian ini mengambil tempat di Desa Batunampar, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur dimana pengkajian teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dilaksanakan.
Penelitian ini menggunakan metoda survey dengan wawancara semi-terstruktur dengan kuisener pada nelayan kooperator dan non kooperator sebagai responden. Nelayan kooperator adalah nelayan yang sudah mengadopsi teknologi introduksi dan mendapat bimbingan dari BPTP mataram dalam proses budidaya dalam KJA sedangkan nelayan non kooperator adalah nelayan yang berada di sekitar pengkajian namun tidak atau belum mengadopsi teknologi introduksi.
Jumlah responden adalah 16 nelayan kooperator dan 16 nelayan non kooperator. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon Nelayan
Minat nelayan untuk membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan keenam pengkajian berlangsung. Sekarang tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Hal ini didukung dengan bantuan Gubernur NTB berupa 1.000 benih ikan kerapu bebek untuk 10 kelompok (50 orang). Dari 16 responden nelayan kooperator 6,25% nelayan sudah mengadopsi teknologi KJA selama 3 tahun, 50% sudah mengadopsi teknologi selama 2 tahun sedang 37,5% nelayan mulai mengadopsi setahun terakhir (gambar 1). 75% nelayan mengadopsi teknologi atas kemauan sendiri sedang 18,75% karena diminta dan diajak orang lain untuk mengadosi teknologi tersebut (gambar 2). Dalam keterlibatannya di litkaji, 37,5% responden terlibat secara langsung dalam litkaji, 25% sebagai penyedia lahan dan 32,5% terlibat secara tidak langsung namum mendapat bimbingan dalam proses budidaya ikan dalam KJA (gambar 3). Meningkatnya respon petani terhadap teknologi introduksi karena sebagian besar responden menganggap bahwa teknologi yang mereka adopsi memenuhi kebutuhan petani. Kepercayaan nelayan terhadap teknologi tersebut tiak dapat diabaikan begitu saja namun harus tetap dijaga oleh BPTP Mataram. Salah satu usaha yang dilakukan adalah selalu memberikan bimbingan terhadap usaha budiaya ikan dan lobster dalam karamba dan juga memfasilitasi pembelian benih dari Gondol karena saat ini BPTP Mataram menjalin kerjasama penelitian dengan Balai Besar Riset Budidaya Laut Gondol tentang budidaya ikan kerapu.














Gambar 1: Lamanya keikutsertaan nelayan reponden sebagai kooperator














Gambar 2: Dorongan nelayan responden untuk menjadi kooperator


Gambar 3. Keterlibatan nelayan responden dalam litkaji
Persepsi Nelayan
Nelayan Kooperator
Pada awal pengkajian banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan 50% nelayan reponden berpendapat bahwa 100% teknologi dapat diterapkan, 6,25% berpendapat 75 – 100% dapat diaplikasikan, 25% responden menganggap teknologi dapat diterapkan antara 50 – 75% dan hanya 12,5% menganggap teknologi dapat diterapkan antara 10 – 50% (gambar 4). 68,75% nelayan responden menilai bahwa teknologi tersebut baru dan 68,75% nelayan responden juga menilai teknologi introduksi sangat baik. Berkaitan dengan manfaat adanya teknologi introduksi, 62,5% nelayan berpendapat sangat bermanfaat dan hanya 6,25% menganggap teknologi tersebut kurang bermanfaat. Hal ini menunjukan bahwa mereka menganggap teknologi yang mereka adopsi dan gunakan sekarang ini merupakan teknologi yang sudah teruji dan dapat diplikasikan di daerah perairan Teluk Ekas khususnya Desa Batunampar dan sangat bermanfaat bagi mereka. Sebagian besar responden menganggap teknologi introduksi tersebut sesuai dengan kebutuhan petani.
Tambahan produksi yang diterima oleh nelayan kooperator setelah menerapkan teknologi introduksi adalah sangat memadai. 41,67% responden menyatakan bahwa tambahan produksi yang mereka terima adalah lebih dari 75%, sedangkan 16,67% responden mempunyai tambahan hasil sebesar 50 – 75%, responden yang mempunyai tambahan produksi 25 – 50% dan 10 – 25% adalah masing-masing 8,3% dan 25% responden belum bisa menghitung tambahan produksi yang mereka dapatkan dengan alasan bahwa petani tersebut belum panen (gambar 5). Tambahan produksi yang diterima petani akan membawa konsekuesi tambahan pendapatan yang akan diterima. 33.33% responden mendapatkan tambahan pendapatan lebih dari 75%, 20% responden pendapatannya meningkat sebesar 25 – 50% dan 26,67% responden meningkat 10 – 25% sedangkan yang mendapatkan tambahan penghasilan kurang dari 10% hanya 6,67% responden (gambar 6). Tambahan hasil yang sangat besar ini disebabkan oleh komoditas yang mereka budidayakan adalah komoditas yang mempunyai nilai ekonomis tinggi khususnya ikan kerapu.












Gambar 4: Persepsi nelayan responden tentang penerapan teknologi introduksi













Gambar 5: Tambahan produksi yang didapatkan nelayan responden















Gambar 6: Tambahan pendapatan yang diterma nelayan responden
Nelayan non kooperator
Nelayan non kooperator adalah nelayan yang berdomisili disekitar tempat pengkajian yang belum mengadopsi dan belum mendapatkan bimbingan dari BPTP Mataram dalam usaha budidaya ikan yang mereka lakukan. Namun demikian sebagian besar dari mereka (62,5%) menganggap bahwa BPTP Mataram merupakan sumber teknologi (gambar 7). Ini membuktikan bahwa mereka sudah mengenal BPTP. Dari responden yang ada 6,25% sudah mengenal BPTP selama 3 tahun, 37,5% sudah 2 tahun mengenal BPTP dan 25% dari mereka sudah mengenal BPTP namun 32,5% responden belum tahu tentang BPTP (gambar 8). Pengenalan tentang BPTP baik itu fungsi, misi dan peran BPTP kepada nelayan disekitar tempat pengkajian dilakukan secara formal dan informal. Secara formal dillakukan melalui temu lapang yang mengundang nelayan sekitarnya. Sedang untuk informal dapat dilakukan melalui diskusi ataupun pembicaraan dengan nelayan disekitar tempat pengkajian.
Keberhasilan usaha diseminasi hasil pengkajian dapat dirasakan karena sebagian besar responden non kooperator (93,75%) mengetahui teknologi unggulan BPTP (gambar 9). Namun mereka belum menerapkan teknologi tersebut karena mereka menganggap bahwa teknologi tersebut tidak terjangkau harganya oleh mereka.













Gambar 7: Pendapat responden non kooperator tentang BPTP sebagai sumber teknologi




























Gambar 9: Pengetahuan responden non kooperator tentang teknologi unggulan BPTP.
KESIMPULAN
Respon nelayan terhadap introduksi teknologi sangat baik, hal ini terbukti dengan bertambahnya jumlah nelayan yang mengikuti teknologi introduksi tersebut. Sebagian besar nelayan juga menganggap teknologi introduksi tersebut sangat bermanfaat dan dapat meningkatkan produksi maupun pendapatan mereka.
Proses diseminasi juga berhasil terbukti dengan sebagian besar responden non kooperator yang sudah mengenal teknologi unggulan dari BPTP walaupun sebagian mereka belum bisa menerapkan dengan alasan harganya tidak terjangkau oleh mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Basyarie A. 2001. Teknologi Pembesaran Ikan Kerapu (Ephinephelus spp). Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 112 – 117p.
Dinas Perikanan dan Kelautan NTB. 2000. Pemutakhiran Data Potensi Sumberdaya Perikanan di Nusa Tenggara Barat. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Nazam M, Prisdiminggo, A. Surahman dan Sudjudi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Uji Adaptasi Pemeliharaan Kerapu Bebek dalam KJA di Teluk Ekas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Nurjana M. L. 2001 Prospek Sea Farming di Indonesia. Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 1 – 9p.
Prisdiminggo, M. Nazam, A. S. Wahid, S. Sisca dan Sudjudi. 1998. Uji Adaptasi Waktu Tanam terhadap Produktivitas Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Ekas dusun Batunampar, Lombok Timur. Prosiding Seminar Penyuluh, Peneliti dan Petugas Terkait Propinsi Nusa Tenggara Barat. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Redjeki. S, A. Supriaatna, S. Diani, A. Ismail dan PT. Imanto. 1995. Prospek Budidaya Udang Karang. Makalah. Pusat Litbang Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara. Serang.
Sayaka B. 1994. Farm Level Impact Analysis of the Adoption of the Package of Technologies Introduced under the Soybean Yield Gap Analysis Project. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 13, No. 1. 1 – 26p.
Slamet, B. Dan P.T. Imanto. 1998. Pengamatan Pemeliharaan Udang Karang (Panulirus humarus) di Laboratorium. Jurnal Penelitian Pantai vol 5 No.2. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. 52-60p.
Tridjoko, B. Slamet, A. Prijono dan I. Koesharyani. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu. Prosiding Rapat Kerja Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 112 – 118p.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: