Media tanam merupakan komponen utama ketika akan bercocok tanam. Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis tanaman yang ingin ditanam. Menentukan media tanam yang tepat dan standar untuk jenis tanaman yang berbeda habitat asalnya merupakan hal yang sulit. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki kelembapan dan kecepatan angin yang berbeda. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga kelembapan daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat menahan ketersediaan unsur hara.
Jenis media tanam yang digunakan pada setiap daerah tidak selalu sama. Di Asia Tenggara, misalnya, sejak tahun 1940 menggunakan media tanam berupa pecahan batu bata, arang, sabut kelapa, kulit kelapa, atau batang pakis. Bahan-bahan tersebut juga tidak hanya digunakan secara tunggal, tetapi bisa dikombinasikan antara bahan satu dengan lainnya.
Misalnya, pakis dan arang dicampur dengan perbandingan tertentu hingga menjadi media tanam baru. Pakis juga bisa dicampur dengan pecahan batu bata.
Untuk mendapatkan media tanam yang baik dan sesuai dengan jenis tanaman yang akan ditanam, seorang hobiis harus memiliki pemahaman mengenai karakteristik media tanam yang mungkin berbeda-beda dari setiap jenisnya. 8erdasarkan jenis bahan penyusunnya, media tanam dibedakan menjadi bahan organik dan anorganik.
A. Bahan Organik
Media tanam yang termasuk dalam kategori bahan organik umumnya berasal dari komponen organisme hidup, misalnya bagian dari tanaman seperti daun, batang, bunga, buah, atau kulit kayu. Penggunaan bahan organik sebagai media tanam jauh lebih unggul dibandingkan dengan bahan anorganik. Hal itu dikarenakan bahan organik sudah mampu menyediakan unsur-unsur hara bagi tanaman. Selain itu, bahan organik juga memiliki pori-pori makro dan mikro yang hampir seimbang sehingga sirkulasi udara yang dihasilkan cukup baik serta memiliki daya serap air yang tinggi.
Bahan organik akan mengalami proses pelapukan atau dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme. Melalui proses tersebut, akan dihasilkan karbondioksida (CO2), air(H2O), dan mineral. Mineral yang dihasilkan merupakan sumber unsur hara yang dapat diserap tanaman sebagai zat makanan. Namun, proses dekomposisi yang terlalu cepat dapat memicu kemunculan bibit penyakit. Untuk menghindarinya, media tanam harus sering diganti. Oleh karena itu, penambahan unsur hara sebaiknya harus tetap diberikan sebelum bahan media tanam tersebut mengalami dekomposisi.
8eberapa jenis bahan organik yang dapat dijadikan sebagai media tanam di antaranya arang, cacahan pakis, kompos, mosS, sabut kelapa, pupuk kandang, dan humus.
1. Arang
Arang bisa berasal dari kayu atau batok kelapa. Media tanam ini sangat coeok digunakan untuk tanaman anggrek di daerah dengan kelembapan tinggi. Hal itu dikarenakan arang kurang mampu mengikat air dalam )umlah banyak. Keunikan dari media jenis arang adalah sifatnya yang bufer (penyangga). Dengan demikian, jika terjadi kekeliruan dalam pemberian unsur hara yang terkandung di dalam pupuk bisa segera dinetralisir dan diadaptasikan.
Selain itu, bahan media ini juga tidak mudah lapuk sehingga sulit ditumbuhi jamur atau eendawan yang dapat merugikan tanaman. Namun, media arang eenderung miskin akan unsur hara. Oleh karenanya, ke dalam media tanam ini perlu disuplai unsur hara berupa aplikasi pemupukan.
Sebelum digunakan sebagai media tanam, idealnya arang dipeeah menjadi potongan-potongan keeil terlebih dahulu sehingga memudahkan dalam penempatan di dalam pot. Ukuran peeahan arang ini sangat bergantung pada wadah yang digunakan untuk menanam serta jenis tanaman yang akan ditanam. Untuk mengisi wadah yang memiliki diameter 15 em atau lebih, umumnya digunakan peeahan arang yang berukuran panjang 3 em, lebar 2-3 em, dengan ketebalan 2-3 em. Untuk wadah (pot) yang lebih keeil, ukuran peeahan arang juga harus lebih kecil.
2. Batang Pakis
Berdasarkan warnanya, batang pakis dibedakan menjadi 2, yaitu batang pakis hitam dan batang pakis coklat. Dari kedua jenis tersebut, batang pakis hitam lebih umum digunakan sebagai media tanam. Batang pakis hitam berasal dari tanaman pakis yang sudah tua sehingga lebih kering. Selain itu, batang pakis ini pun mudah dibentuk menjadi potongan kecil dan dikenal sebagai cacahan pakis.
Selain dalam bentuk cacahan, batang pakis juga banyak dijual sebagai media tanam siap pakai dalam bentuk lempengan persegi empat. Umumnya, bentuk lempengan pakis digunakan sebagai media tanam anggrek. Kelemahan dari lempengan batang pakis ini adalah sering dihuni oleh semut atau binatang-binatang kecillainnya.
Karakteristik yang menjadi keunggulan media batang pakis lebih dikarenakan sifat-sifatnya yang mudah mengikat air, memiliki aerasi dan drainase yang baik, serta bertekstur lunak sehingga mudah ditembus oleh akar tanaman.
3. Kompos
Kompos merupakan media tanam organik yang bahan dasarnya berasal dari proses fermentasi tanaman atau limbah organik, seperti jerami, sekam, daun, rumput, dan sampah kota. Kelebihan dari penggunaan kompos sebagai media tanam adalah sifatnya yang mampu mengembalikan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat-sifat tanah, baik fisik, kimiawi, maupun biologis. Selain itu, kompos juga menjadi fasilitator dalam penyerapan unsur nitrogen (N) yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Kandungan bahan organik yang tinggi dalam kompos sangat penting untuk memperbaiki kondisi tanah. Berdasarkan hal tersebut dikenal 2 peranan kompos yakni soil conditioner dan soil ameliorator. Soil ( ondotioner yaitu peranan kompos dalam memperbaiki struktur tanah, terutama tanah kering, sedangkan soil ameliorator berfungsi dalam Il1emperbaiki kemampuan tukar kation pada tanah.
Kompos yang baik untuk digunakan sebagai media tanam yaitu Ydng telah mengalami pelapukan secara sempurna, ditandai dengan I IL,rubahan warna dari bahan pembentuknya (hitam kecokelatan), tidak berbau, memiliki kadar air yang rendah, dan memiliki suhu ruang.
4. Moss
Moss yang dijadikan sebagai media tanam berasal dari akar paku-pakuan, atau kadaka yang banyak dijumpai di hutan-hutan. Moss sering digunakan sebagai media tanam untuk masa penyemaian sampai dengan masa pembungaan. Media ini mempunyai banyak rongga sehingga memungkinkan akar tanaman tumbuh dan berkembang dengan leluasa.
Menurut sifatnya, media moss mampu mengikat air dengan baik serta memiliki sistem drainase dan aerasi yang lancar. Untuk hasil tanaman yang optimal, sebaiknya moss dikombinasikan dengan media tanam organik lainnya, seperti kulit kayu, tanah gambut, atau daun-daunan kering.
S. Pupuk kandang
Pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan disebut sebagai pupuk kandang. Kandungan unsur haranya yang lengkap seperti natrium (N), fosfor (P), dan kalium (K) membuat pupuk kandang cocok untuk dijadikan sebagai media tanam. Unsur-unsur tersebut penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, pupuk kandang memiliki kandungan mikroorganisme yang diyakini mampu merombak bahan organik yang sulit dicerna tanaman menjadi komponen yang lebih mudah untuk diserap oleh tanaman.
Komposisi kandungan unsur hara pupuk kandang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis hewan, umur hewan, keadaan hewan, jenis makanan, bahan hamparan yang dipakai, perlakuan, serta penyimpanan sebelum diaplikasikan sebagai media tanam.
Pupuk kandang yang akan digunakan sebagai media tanam harus yang sudah matang dan steril. Hal itu ditandai dengan warna pupuk yang hitam pekat. Pemilihan pupuk kandang yang sudah matang bertujuan untuk mencegah munculnya bakteri atau cendawan yang dapat merusak tanaman.
6. Sabut kelapa (coco peat)
Sabut kelapa atau coco peat merupakan bahan organik alternatif yang dapat digunakan sebagai media tanam. Sabut kelapa untuk media tanam ,I 'iJdiknya berasal dari buah kelapa tua karena memiliki serat yang kuat.
Penggunaan sabut kelapa sebagai media tanam sebaiknya dilakukan di daerah yang bercurah hujan rendah. Air hujan yang berlebihan dapat menyebabkan media tanam ini mudah lapuk. Selain itu, tanaman pun menjadi cepat membusuk sehingga bisa menjadi sumber penyakit. Untuk mengatasi pembusukan, sabut kelapa perlu direndam terlebih dahulu di dalam larutan fungisida. Jika dibandingkan dengan media lain, pemberian fungisida pada media sabut kelapa harus lebih sering dilakukan karena
sifatya yang cepat lapuk sehingga mudah ditumbuhi jamur.
Kelebihan sabut kelapa sebagai media tanam lebih dikarenakan karakteristiknya yang mampu mengikat dan menyimpan air dengan
kuat, sesuai untuk daerah panas, dan mengandung unsur-unsur hara esensial, seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), natrium (N), dan fosfor (P).
7. Sekam padi
Sekam padi adalah kulit biji padi (Oryza sativa) yang sudah digiling. Sekam padi yang biasa digunakan bisa berupa sekam bakar atau sekam mentah (tidak dibakar). Sekam bakar dan sekam mentah memiliki tingkat porositas yang sama. Sebagai media tanam, keduanya berperan penting dalam perbaikan struktur tanah sehingga sistem aerasi dan drainase di media tanam menjadi lebih baik.
Penggunaan sekam bakar untuk media tanam tidak perlu disterilisasi lagi karena mikroba patogen telah mati selama proses pembakaran. Selain itu, sekam bakar juga memiliki kandungan karbon (C) yang tinggi sehingga membuat media tanam ini menjadi gembur, Namun, sekam bakar cenderung mudah lapuk.
Sementara kelebihan sekam mentah sebagai media tanam yaitu mudah mengikat air, tidak mudah lapuk, merupakan sumber kalium (K) yang dibutuhkan tanaman, dan tidak mudah menggumpal atau memadat sehingga akar tanaman dapat tumbuh dengan sempurna. Namun, sekam padi mentah cenderung miskin akan unsur hara.
8. Humus
Humus adalah segala macam hasil pelapukan bahan organik oleh Jasad mikro dan merupakan sumber energi jasad mikro tersebut. Bahanbahan organik tersebut bisa berupa jaringan asli tubuh tumbuhan atau binatang mati yang belum lapuk. Biasanya, humus berwarna gelap dan ciijumpai terutama pada lapisan atas tanah (top soil)
Humus sangat membantu dalam proses penggemburan tanah. dan memiliki kemampuan daya tukar ion yang tinggi sehingga bisa
menyimpan unsur hara. Oleh karenanya, dapat menunjang kesuburan tanah, Namun, media tanam ini mudah ditumbuhi jamur, terlebih ketika tl'rjadi perubahan suhu, kelembapan, dan aerasi yang ekstrim. Humus Juga memiliki tingkat porousitas yang rendah sehingga akar tanaman tidak mampu menyerap air, Dengan demikian, sebaiknya penggunaan humus sebagai media tanam perlu ditambahkan media lain yang memiliki porousitas tinggi, misalnya tanah dan pasir.
B. Bahan Anorganik
Bahan anorganik adalah bahan dengan kandungan unsur mineral tinggi yang berasal dari proses pelapukan batuan induk di dalam bumi. Proses pelapukan tersebut diakibatkan o/eh berbagai hal, yaitu pelapukan secara fisik, biologi-mekanik, dan kimiawi.
Berdasarkan bentuk dan ukurannya, mineral yang berasal dari pelapukan batuan induk dapat digolongkan menjadi 4 bentuk, yaitu kerikil atau batu-batuan (berukuran lebih dari 2 mm), pasir (berukuran 50 /-1- 2 mm), debu (berukuran 2-50u), dan tanah liat (berukuran kurang dari 2ju. Selain itu, bahan anorganik juga bisa berasal dari bahan-bahan sintetis atau kimia yang dibuat di pabrik. Beberapa media anorganik yang sering dijadikan sebagai media tanam yaitu gel, pasir, kerikil, pecahan batu bata, spons, tanah liat, vermikulit, dan perlit.
1. Gel
Gel atau hidrogel adalah kristal-kristal polimer yang sering digunakan sebagai media tanam bagi tanaman hidroponik. Penggunaan media jenis ini sangat praktis dan efisien karena tidak perlu repot-repot untuk mengganti dengan yang baru, menyiram, atau memupuk. Selain itu, media tanam ini juga memiliki keanekaragaman warna sehingga pemilihannya dapat disesuaikan dengan selera dan warna tanaman. Oleh karenanya, hal tersebut akan menciptakan keindahan dan keasrian tanaman hias yang diletakkan di ruang tamu atau ruang kerja.
Hampir semua jenis tanaman hias indoor bisa ditanam dalam media ini, misalnya philodendron dan anthurium. Namun, gel tidak eaeak untuk tanaman hias berakar keras, seperti adenium atau tanaman hias bonsai. Hal itu bukan dikarenakan ketidakmampuan gel dalam memasok kebutuhan air, tetapi lebih dikarenakan pertumbuhan akar tanaman yang mengeras sehingga bisa membuat vas pecah. Sebagian besar nursery lebih memilih gel sebagai pengganti tanah untuk pengangkutan tanaman dalam jarak jauh. Tujuannya agar kelembapan tanaman tetap terjaga.
Keunggulan lain dari gel yaitu tetap cantik meskipun bersanding dengan media lain. Di Jepang gel digunakan sebagai komponen terarium bersama dengan pasir. Gel yang berwarna-warni dapat memberi kesan hidup pada taman miniatur tersebut.
2. Pasir
Pasir sering digunakan sebagai media tanam alternatif untuk menggantikan fungsi tanah. Sejauh ini, pasir dianggap memadai dan sesuai jika digunakan sebagai media untuk penyemaian benih, pertumbuhan bibit tanaman, dan perakaran setek batang tanaman. Sifatnya yang cepat kering akan memudahkan proses pengangkatan bibit tanaman yang dianggap sudah cukup umur untuk dipindahkan ke media lain. Sementara bobot pasir yang cukup berat akan mempermudah tegaknya setek batang. Selain itu, keunggulan media tanam pasir adalah kemudahan dalam penggunaan dan dapat meningkatkan sistem aerasi serta drainase media tanam. Pasir malang dan pasir bangunan merupakan Jenis pasir yang sering digunakan sebagai media tanam.
Oleh karena memiliki pori-pori berukuran besar (pori-pori makro) maka pasir menjadi mudah basah dan cepat kering oleh proses penguapan. Kohesi dan konsistensi (ketahanan terhadap proses :o::misahan) pasir sangat kecil sehingga mudah terkikis oleh air atau ~'lgin. Dengan demikian, media pasir lebih membutuhkan pengairan dan ::emupukan yang lebih intensif. Hal tersebut yang menyebabkan pasir jarang digunakan sebagai media tanam secara tunggal.
Penggunaan pasir seoagai media tanam sering dikombinasikan dengan campuran bahan anorganik lain, seperti kerikil, batu-batuan, atau bahan organik yang disesuaikan dengan jenis tanaman.
Pasir pantai atau semua pasir yang berasal dari daerah yang
bersersalinitas tinggi merupakan jenis pasir yang harus dihindari untuk :gunakan sebagai media tanam, kendati pasir tersebut sudah dicuci :erlebih dahulu. Kadar garam yang tinggi pada media tanam dapat ,enyebabkan tanaman menjadi merana. Selain itu, organ-organ tanaman, seperti akar dan daun, juga memperlihatkan gejala terbakar yang selanjutnya mengakibatkan kematian jaringan (nekrosis).
3. Kerikil
Pada dasarnya, penggunaaan kerikil sebagai media tanam memang :idakjauh berbeda dengan pasir. Hanya saja, kerikil memiliki pori-pori makro lebih banyak daripada pasir. Kerikil sering digunakan sebagai media untuk budi daya tanaman secara hidroponik. Penggunaan media ini akan membantu peredaran larutan unsur hara dan udara serta pada prinsipnya tidak menekan pertumbuhan akar. Namun, kerikil memiliki kemampuan mengikat air yang relatif rendah sehingga mudah basah dan cepat kering jika penyiraman tidak dilakukan secara rutin.
Seiring kemajuan teknologi, saat ini banyak dijumpai kerikil sintesis. Sifat kerikil sintesis cenderung menyerupai batu apung, yakni memiliki rongga-rongga udara sehingga memiliki bobot yang ringan. Kelebihan kerikil sintesis dibandingkan dengan kerikil biasa adalah kemampuannya yang cukup baik dalam menyerap air. Selain itu, sistem drainase yang dihasilkan juga baik sehingga tetap dapat mempertahankan kelembapan dan sirkulasi udara dalam media tanam.
4. Pecahan batu bata
Pecahan batu bata juga dapat dijadikan alternatif sebagai media tanam. Seperti halnya bahan anorganik lainnya, media jenis ini juga berfungsi untuk melekatkan akar. Sebaiknya, ukuran batu-bata yang akan digunakan sebagai media tanam dibuat keeil, seperti kerikil, dengan ukuran sekitar 2-3 em. Semakin keeil ukurannya, kemampuan daya serap batu bata terhadap air maupun unsur hara akan semakin balk. Selain itu, ukuran yang semakin keeil juga akan membuat sirkulasi udara dan kelembapan di sekitar akar tanaman berlangsung lebih baik.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan media tanam
ini adalah kondisinya yang miskin hara. Selain itu, kebersihan dan kesterilan pecahan batu bata yang belum tentu terjamin. Oleh karena itu, penggunaan media ini perlu ditambahkan dengan pupuk kandang yang komposisi haranya disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.
Walaupun miskin unsur hara, media pecahan batu bata tidak mudah melapuk. Dengan demikian, pecahan batu bata cocok digunakan sebagai media tanam di dasar pot karena memiliki kemampuan drainase dan aerasi yang baik. Tanaman yang sering menggunakan pecahan batu bata sebagai media dasar pot adalah anggrek.
5. Spons (floralfoam)
Para hobiis yang berkecimpung dalam budi daya tanaman hias sudah sering memanfaatkan spans sebagai media tanam anorganik. Dilihat dari sifatnya, spans sangat ringan sehingga mudah dipindah-pindahkan dan ditempatkan di mana saja. Walaupun ringan, media jenis ini tidak membutuhkan pemberat karena setelah direndam atau disiram air akan menjadi berat dengan sendirinya sehingga dapat menegakkan tanaman.
Kelebihan lain dari media tanam spans adalah tingginya daya serap
terhadap air dan unsur hara esensial yang biasanya diberikan dalam bentuk larutan. Namun, penggunaannya tidak tahan lama karena bahannya mudah hancur. Oleh karena itu, jika spans sudah terlihat tidak layak pakai (mudah hancur ketika dipegang), sebaiknya segera diganti dengan yang baru. Berdasarkan kelebihan dan kekurangannya tersebut, spans sering digunakan sebagai media tanam untuk tanaman hias bunga potong (cutting flower) yang penggunaannya eenderung hanya sementara waktu saja.
6. Tanah liat
Tanah liat merupakan jenis tanah yang bertekstur paling halus dan lengket atau berlumpur. Karakteristik dari tanah liat adalah memiliki poripori berukuran keeil (pori-pori mikro) yang lebih banyak daripada pori-pori yang berukuran besar (pori-pori makro) sehingga memiliki kemampuan mengikat air yang eukup kuat. Pori-pori mikro adalah pori-pori halus yang berisi air kapiler atau udara. Sementara pori-pori makro adalah pori-pori kasar yang berisi udara atau air gravitasi yang mudah hilang. Ruang dari setiap pori-pori mikro berukuran sangat sempit sehingga menyebabkan sirkulasi air atau udara menjadi lamban.
Pada dasarnya, tanah liat bersifat miskin unsur hara sehingga perlu dikombinasikan dengan bahan-bahan lain yang kaya akan unsur hara. Penggunaan tanah liat yang dikombinasikan dengan bahan-bahan lain seperti pasir dan humus sangat cocok dijadikan sebagai media penyemaian, eangkok, dan bonsai.
7. Vermikulit dan perlit
Vermikulit adalah media anorganik steril yang dihasilkan dari
pemananasan kepingan-kepingan mika serta mengandung potasium dan H',lum. Berdasarkan sifatnya, vermikulit merupakan media tanam yang memiliki kemampuan kapasitas tukar kation yang tinggi, terutama dalam keadaan padat dan pada saat basah. Vermikulit dapat menurunkan berat jenis, dan meningkatkan daya serap air jika digunakan sebagai campuran media tanaman. Jika digunakan sebagai campuran media tanam,
vermikulit dapat menurunkan berat jenis dan meningkatkan daya absorpsi air sehingga bisa dengan mudah diserap oleh akar tanaman.
Berbeda dengan vermikulit, perlit merupakan produk mineral berbobot ringan serta memiliki kapasitas tukar kation dan daya serap air yang rendah. Sebagai campuran media tanam, fungsi perlit sama dengan Vermikulit, yakni menurunkan berat jenis dan meningkatkan daya serap air.
Penggunaan vermikulit dan perlit sebagai media tanam sebaiknya dikombinasikan dengan bahan organik untuk mengoptimalkan tanaman dalam menyerap unsur-unsur hara.
8. Gabus (styrofoam)
Styrofoam merupakan bahan anorganik yang terbuat dari kopolimer
styren yang dapat dijadikan sebagai alternatif media tanam. Mulanya, styrofoam hanya digunakan sebagai media aklimatisasi (penyesuaian diri) bagi tanaman sebelum ditanam di lahan. Proses aklimatisasi tersebut hanya bersifat sementara. Styrofoam yang digunakan berbentuk kubus jengan ukuran (1 x 1 x 1) cm.
Sekarang, beberapa nursery menggunakan styrofoam sebagai campuran media tanam untuk meningkatkan porousitas media tanam. Jntuk keperluan ini, styrofoam yang digunakan dalam bentuk yang sudah dihancurkan sehingga menjadi bola-bola kecil, berukuran sebesar biji kedelai. Penambahan styrofoam ke dalam media tanam membuatnya
mennjadi riangan. Namun, media tanam sering dijadikan sarang oleh semut.
Ragam Media Tanam
Posted in beritaRESPON DAN PERSEPSI NELAYAN TERHADAP INTRODUKSI TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN KERAPU DAN LOBSTER DALAM KERAMBA JARING APUNG
Posted in materi kuliahRESPON DAN PERSEPSI NELAYAN TERHADAP INTRODUKSI TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN KERAPU DAN LOBSTER DALAM KERAMBA JARING APUNG
DI DESA BATUNAMPAR KABUPATEN. LOMBOK TIMUR
Arif Surahman, Mashur dan Prisdiminggo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
Jl. Peninjauan Narmada, Po Box 1017 Mataram
ABSTRAK
Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445 ha merupakan potensi areal budidaya kerapu. BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di Desa Batunampar Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat tentang teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA.
Disamping kerapu, lobster juga merupakan komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa Batunampar. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA. Minat nelayan untuk membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan keenam pengkajian berlangsung. Sekarang tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Pada awal pengkajian banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan banyak nelayan yang kemudian mengikuti teknologi introduksi setelah melihat keberhasilan pengkajian. Keberhasilan proses diseminasi teknologi mengakibatkan sebagian besar responden non kooperator mengetahui teknologi unggulan BPTP namun belum mengadopsi karena tingginya modal yang mereka butuhkan untuk budidaya dalan KJA.
Kata kunci: respon; persepsi; introduksi; teknologi
ABSTRACT
Potency of marine culture area in West Nusa Tenggara is 23,245 ha. From this area 1,445 ha can be used for grouper cage culture. BPTP Mataram as an assessment agency introduced grouper cage culture technology from 2000 year in Batunampar village. Beside grouper, lobster is also the important commodity, which can be cultured in Batunampar village. Two species of spiny lobster, Panulirus homarus and Panulirus ornatus can be cultured in the cage. Fishermen respond have been started from sixth month of the assessment. 60 fishermen have been already adopted grouper and lobster cage culture technology. In the beginning of this assessment, farmer thought that this technology was difficult to implement in fisherman level that have capital limitation. Fishermen adopted this technology after they knew the successful of this assessment. Most of non-cooperator fishermen knew the BPTP technology because of the successfully of dissemination but this technology is too expensive for them.
Key word: respond; perception; technology; introduction
PENDAHULUAN
Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Harga jual ikan ini khususnya kerapu bebek di NTB sangat tinggi yaitu Rp. 270.000,- - Rp. 280.000,- untuk ukuran 500 g per ekor. Tingginya harga ikan kerapu bebek ini karena ikan ini merupakan komoditas ekspor dalam bentuk hidup ke Singapura, Hongkong, Jepang dan Cina. Tingginya harga dan banyaknya permintaan akan ikan ini menyebabkan intensitas penangkapan semakin meningkat sehingga dikhawatirkan populasi ikan ini di alam terancam punah.
Salah satu cara untuk menjamin kelestarian jenis ikan kerapu tersebut perlu dilakukan usaha budidaya. Usaha budidaya ikan kerapu ini diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan pasar dan sekaligus mengurangi intensitas penangkapan dari alam. Budidaya ikan kerapu merupakan aktivitas yang belum banyak berkembang dan relatif masih baru. Padahal potensi sumberdaya alam untuk budidaya ikan kerapu sangat mendukung seperti banyaknya teluk dan selat yang tersebar di wilayah perairan Indonesia.
Propinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas dua pulau besar yaitu pulau Lombok dan Sumbawa, serta memiliki wilayah peraian laut yang meliputi perairan pantai dan lepas pantai seluas 31.148 km2 dengan panjang pantai 2.900 km. Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445 ha merupakan potensi areal budidaya kerapu, dan 1.200 ha diantaranya berada di pulau Sumbawa. Potensi areal budidaya kerapu baru dimanfaatkan 11,05 ha (0,75%) yang tersebar di Kabupaten Lombok Timur 11,00 ha dan Kab. Bima 0.05 ha (Dinas Perikanan dan Kelautan NTB, 2002).
BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di Desa Batunampar Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat tentang teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA. Ikan kerapu yang digunakan dalam pengkajian ini adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Pakan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah ikan rucah dan mencoba mengintroduksikan pakan buatan berupa pellet yang berasal dari Gondol, Bali. Dari pengkajian tersebut dapat disimpulkan bahwa ikan kerapu dapat dipelihara dalam KJA dengan pemberian pakan alami berupa ikan rucah dan pakan buatan berupa pellet. Pemberian pakan alami berupa ikan rucah lebih baik dari pada pakan buatan, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ikan budidaya. Ikan kerapu yang diberikan pakan ikan rucah mempunyai pertambahan berat mutlak sebesar 558,70 g/individu sedangkan yang diberikan pakan buatan berupa pellet hanya sebesar 356,95 g/individu.(Nazam et al., 2000).
Disamping kerapu, lobster juga merupakan komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa Batunampar. Pengkajian ini bermula dari ketidaksengajaan pada saat berlangsungnya pengkajian budidaya kerapu. Pada saat pembersihan jaring banyak dijumpai benih lobster yang menempel pada jaring dan pelampung. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA.
Pada awal pengkajian nelayan belum merespon teknologi yang diintroduksikan, bahkan sebagian nelayan berpendapat bahwa teknologi KJA merupakan teknologi padat modal dan sulit diterapkan oleh nelayan. Namun pada bulan keenam pengkajian, minat nelayan untuk menerapkan teknologi KJA mulai muncul. Hal ini disebabkan petani kooperator mulai menjual hasil panen dari KJA berupa udang karang yang dipelihara secara sambilam dalam KJA. Satu persatu nelayan mulai ikut budidaya ikan dan udang dalam KJA. Teknologi pembuatan KJA oleh nelayan sangat beragam baik ukuran maupun bahan yang digunakan, bahkan ada sebagian nelayan yang menggunakan bahan kerangka bambu bekas bagan dan jaring yang digunakan berupa waring yang biasa digunakan untuk bagan pula.
TUJUAN
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui respon dan persepsi nelayan terhadap introduksi teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA di Desa Batunampar Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
METODOLOGI
Penelitian ini mengambil tempat di Desa Batunampar, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur dimana pengkajian teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dilaksanakan.
Penelitian ini menggunakan metoda survey dengan wawancara semi-terstruktur dengan kuisener pada nelayan kooperator dan non kooperator sebagai responden. Nelayan kooperator adalah nelayan yang sudah mengadopsi teknologi introduksi dan mendapat bimbingan dari BPTP mataram dalam proses budidaya dalam KJA sedangkan nelayan non kooperator adalah nelayan yang berada di sekitar pengkajian namun tidak atau belum mengadopsi teknologi introduksi.
Jumlah responden adalah 16 nelayan kooperator dan 16 nelayan non kooperator. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon Nelayan
Minat nelayan untuk membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan keenam pengkajian berlangsung. Sekarang tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Hal ini didukung dengan bantuan Gubernur NTB berupa 1.000 benih ikan kerapu bebek untuk 10 kelompok (50 orang). Dari 16 responden nelayan kooperator 6,25% nelayan sudah mengadopsi teknologi KJA selama 3 tahun, 50% sudah mengadopsi teknologi selama 2 tahun sedang 37,5% nelayan mulai mengadopsi setahun terakhir (gambar 1). 75% nelayan mengadopsi teknologi atas kemauan sendiri sedang 18,75% karena diminta dan diajak orang lain untuk mengadosi teknologi tersebut (gambar 2). Dalam keterlibatannya di litkaji, 37,5% responden terlibat secara langsung dalam litkaji, 25% sebagai penyedia lahan dan 32,5% terlibat secara tidak langsung namum mendapat bimbingan dalam proses budidaya ikan dalam KJA (gambar 3). Meningkatnya respon petani terhadap teknologi introduksi karena sebagian besar responden menganggap bahwa teknologi yang mereka adopsi memenuhi kebutuhan petani. Kepercayaan nelayan terhadap teknologi tersebut tiak dapat diabaikan begitu saja namun harus tetap dijaga oleh BPTP Mataram. Salah satu usaha yang dilakukan adalah selalu memberikan bimbingan terhadap usaha budiaya ikan dan lobster dalam karamba dan juga memfasilitasi pembelian benih dari Gondol karena saat ini BPTP Mataram menjalin kerjasama penelitian dengan Balai Besar Riset Budidaya Laut Gondol tentang budidaya ikan kerapu.
Gambar 1: Lamanya keikutsertaan nelayan reponden sebagai kooperator
Gambar 2: Dorongan nelayan responden untuk menjadi kooperator
Gambar 3. Keterlibatan nelayan responden dalam litkaji
Persepsi Nelayan
Nelayan Kooperator
Pada awal pengkajian banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan 50% nelayan reponden berpendapat bahwa 100% teknologi dapat diterapkan, 6,25% berpendapat 75 – 100% dapat diaplikasikan, 25% responden menganggap teknologi dapat diterapkan antara 50 – 75% dan hanya 12,5% menganggap teknologi dapat diterapkan antara 10 – 50% (gambar 4). 68,75% nelayan responden menilai bahwa teknologi tersebut baru dan 68,75% nelayan responden juga menilai teknologi introduksi sangat baik. Berkaitan dengan manfaat adanya teknologi introduksi, 62,5% nelayan berpendapat sangat bermanfaat dan hanya 6,25% menganggap teknologi tersebut kurang bermanfaat. Hal ini menunjukan bahwa mereka menganggap teknologi yang mereka adopsi dan gunakan sekarang ini merupakan teknologi yang sudah teruji dan dapat diplikasikan di daerah perairan Teluk Ekas khususnya Desa Batunampar dan sangat bermanfaat bagi mereka. Sebagian besar responden menganggap teknologi introduksi tersebut sesuai dengan kebutuhan petani.
Tambahan produksi yang diterima oleh nelayan kooperator setelah menerapkan teknologi introduksi adalah sangat memadai. 41,67% responden menyatakan bahwa tambahan produksi yang mereka terima adalah lebih dari 75%, sedangkan 16,67% responden mempunyai tambahan hasil sebesar 50 – 75%, responden yang mempunyai tambahan produksi 25 – 50% dan 10 – 25% adalah masing-masing 8,3% dan 25% responden belum bisa menghitung tambahan produksi yang mereka dapatkan dengan alasan bahwa petani tersebut belum panen (gambar 5). Tambahan produksi yang diterima petani akan membawa konsekuesi tambahan pendapatan yang akan diterima. 33.33% responden mendapatkan tambahan pendapatan lebih dari 75%, 20% responden pendapatannya meningkat sebesar 25 – 50% dan 26,67% responden meningkat 10 – 25% sedangkan yang mendapatkan tambahan penghasilan kurang dari 10% hanya 6,67% responden (gambar 6). Tambahan hasil yang sangat besar ini disebabkan oleh komoditas yang mereka budidayakan adalah komoditas yang mempunyai nilai ekonomis tinggi khususnya ikan kerapu.
Gambar 4: Persepsi nelayan responden tentang penerapan teknologi introduksi
Gambar 5: Tambahan produksi yang didapatkan nelayan responden
Gambar 6: Tambahan pendapatan yang diterma nelayan responden
Nelayan non kooperator
Nelayan non kooperator adalah nelayan yang berdomisili disekitar tempat pengkajian yang belum mengadopsi dan belum mendapatkan bimbingan dari BPTP Mataram dalam usaha budidaya ikan yang mereka lakukan. Namun demikian sebagian besar dari mereka (62,5%) menganggap bahwa BPTP Mataram merupakan sumber teknologi (gambar 7). Ini membuktikan bahwa mereka sudah mengenal BPTP. Dari responden yang ada 6,25% sudah mengenal BPTP selama 3 tahun, 37,5% sudah 2 tahun mengenal BPTP dan 25% dari mereka sudah mengenal BPTP namun 32,5% responden belum tahu tentang BPTP (gambar 8). Pengenalan tentang BPTP baik itu fungsi, misi dan peran BPTP kepada nelayan disekitar tempat pengkajian dilakukan secara formal dan informal. Secara formal dillakukan melalui temu lapang yang mengundang nelayan sekitarnya. Sedang untuk informal dapat dilakukan melalui diskusi ataupun pembicaraan dengan nelayan disekitar tempat pengkajian.
Keberhasilan usaha diseminasi hasil pengkajian dapat dirasakan karena sebagian besar responden non kooperator (93,75%) mengetahui teknologi unggulan BPTP (gambar 9). Namun mereka belum menerapkan teknologi tersebut karena mereka menganggap bahwa teknologi tersebut tidak terjangkau harganya oleh mereka.
Gambar 7: Pendapat responden non kooperator tentang BPTP sebagai sumber teknologi
Gambar 9: Pengetahuan responden non kooperator tentang teknologi unggulan BPTP.
KESIMPULAN
Respon nelayan terhadap introduksi teknologi sangat baik, hal ini terbukti dengan bertambahnya jumlah nelayan yang mengikuti teknologi introduksi tersebut. Sebagian besar nelayan juga menganggap teknologi introduksi tersebut sangat bermanfaat dan dapat meningkatkan produksi maupun pendapatan mereka.
Proses diseminasi juga berhasil terbukti dengan sebagian besar responden non kooperator yang sudah mengenal teknologi unggulan dari BPTP walaupun sebagian mereka belum bisa menerapkan dengan alasan harganya tidak terjangkau oleh mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Basyarie A. 2001. Teknologi Pembesaran Ikan Kerapu (Ephinephelus spp). Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 112 – 117p.
Dinas Perikanan dan Kelautan NTB. 2000. Pemutakhiran Data Potensi Sumberdaya Perikanan di Nusa Tenggara Barat. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Nazam M, Prisdiminggo, A. Surahman dan Sudjudi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Uji Adaptasi Pemeliharaan Kerapu Bebek dalam KJA di Teluk Ekas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Nurjana M. L. 2001 Prospek Sea Farming di Indonesia. Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 1 – 9p.
Prisdiminggo, M. Nazam, A. S. Wahid, S. Sisca dan Sudjudi. 1998. Uji Adaptasi Waktu Tanam terhadap Produktivitas Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Ekas dusun Batunampar, Lombok Timur. Prosiding Seminar Penyuluh, Peneliti dan Petugas Terkait Propinsi Nusa Tenggara Barat. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Redjeki. S, A. Supriaatna, S. Diani, A. Ismail dan PT. Imanto. 1995. Prospek Budidaya Udang Karang. Makalah. Pusat Litbang Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara. Serang.
Sayaka B. 1994. Farm Level Impact Analysis of the Adoption of the Package of Technologies Introduced under the Soybean Yield Gap Analysis Project. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 13, No. 1. 1 – 26p.
Slamet, B. Dan P.T. Imanto. 1998. Pengamatan Pemeliharaan Udang Karang (Panulirus humarus) di Laboratorium. Jurnal Penelitian Pantai vol 5 No.2. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. 52-60p.
Tridjoko, B. Slamet, A. Prijono dan I. Koesharyani. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu. Prosiding Rapat Kerja Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 112 – 118p.
Nelayan
Posted in materi kuliahnelayan adalah istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar, kolom maupun permukaan perairan. Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini dapat merupakan perairan tawar, payau maupun laut. Di negara-negara berkembang seperti di Asia Tenggara atau di Afrika, masih banyak nelayan yang menggunakan peralatan yang sederhana dalam menangkap ikan.
Nelayan di negara-negara maju biasanya menggunakan peralatan modern dan kapal yang besar yang dilengkapi teknologi canggih.
Eidman (1991) membagi nelayan ke dalam dua kategori, yaitu nelayan penggarap dan nelayan pemilik.
Memancing
Posted in materi kuliahMemancing dalam bidang penangkapan ikan, secara umum merupakan salah satu kegiatan menangkap ikan atau bukan ikan yang dapat dilakukan disemua perairan (tawar atau asin), di pinggir atau ditengah danau, laut, sungai dengan target menangkap ikan seekor demi seekor mulai dari yang berukuran kecil hingga besar termasuk paus (secara internasional menangkap ikan paus dilarang).
Kegiatan memancing adalah pekerjaan menunggu "membosankan..!?" yang harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan konsentrasi, terutama memancing untuk tujuan hobi atau olah raga.
Memancing tidak hanya untuk menangkap ikan, tapi juga dapat digunakan untuk menangkap biota darat (diantaranya kodok, buaya, biawak) atau biota laut selain ikan (misalnya penyu, cumi-cumi, gurita).
Memancing secara umum merupakan salah satu kegiatan menangkap ikan yang dapat dilakukan sebagai suatu pekerjaan (hobi atau komersil), olahraga luar ruang (outdoor). Memancing dapat dilakukan di pinggir atau ditengah danau, laut, sungai dan perairan lainnya dengan target menangkap ikan seekor demi seekor.
Memancing dapat dilakukan oleh perorangan (hobi), atau berkelompok (huhate, rawai, atau tonda). Memancing secara berkelompok termasuk dalam kategori penangkapan ikan komersil